Kunyit dan Keheningan: Ritual Kecil untuk Pikiran yang Ramai
🔀 Read in English 🇬🇧
Selamat Datang di Hajriah Fajar: Hidup Sehat & Cerdas di Era Digital
Kunyit dan Keheningan: Ritual Kecil untuk Pikiran yang Ramai
Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak kepala kamu bukan cuma penuh, tapi udah kayak loteng rumah tua: berdebu, sempit, dan isinya suara-suara yang nggak kamu undang? Aku sih sering. Apalagi setelah seharian buka 27 tab browser, sambil denger notifikasi yang bunyinya udah kayak soundtrack hidup modern. Capek, bos.
Nah, suatu pagi yang absurd, gue iseng nyeduh kunyit. Iya, kunyit yang biasanya nangkring di dapur buat bumbu ayam ungkep. Warnanya oranye ngejreng, baunya tajam, dan rasanya… kayak air tanah yang terlalu jujur. Tapi di balik rasa yang ‘apa banget’ itu, ada momen sunyi yang pelan-pelan ngebenerin kepala.
Bukan sulap. Nggak tiba-tiba tercerahkan atau nemu pencerahan spiritual. Tapi cuma... diem. Ngedipin mata pelan. Ngerasain panasnya gelas di tangan. Itu doang. Tapi kok, lama-lama nagih ya?
Apa Sih Hubungannya Kunyit Sama Pikiran?
Kunyit bukan sekadar rempah bumbu dapur. Katanya sih bagus buat daya tahan, tapi ya… rasanya kayak nyeduh tanah. Yang menarik, banyak orang mulai minum kunyit bukan karena pengen “sehat total” versi iklan, tapi karena mereka butuh pelan-pelan. Butuh sesuatu yang lambat di dunia yang keburu-buru.
Penelitian kecil yang dilakukan oleh National Institutes of Health menyebutkan bahwa kurkumin—zat aktif dalam kunyit—berpotensi berpengaruh pada suasana hati dan sistem saraf. Tapi buatku pribadi, bukan itu yang penting. Yang penting: saat nyeduh, aku berhenti scroll. Saat nyeruput, aku hadir.
Kunyit ini bukan “obat” buat pikiran yang ramai. Tapi dia teman. Teman yang diam, tapi ngerti. Teman yang bikin kamu duduk, bukan ngejar-ngejar to-do list.
Kenapa Kita Butuh Ritual Kecil?
Karena dunia nggak bakal pelan buat kita. Tapi kita bisa milih: mau ikut lari terus sampai ngos-ngosan, atau berhenti lima menit dan ngopi (eh, ngunyit). Aku pernah baca: manusia butuh transisi. Dari kerja ke rumah, dari marah ke tenang, dari “scroll terus” ke “napas dulu”.
Ritual kecil kayak nyeduh kunyit itu kayak jembatan. Bukan tujuan akhir, tapi tempat berhenti sebentar. Kayak halte sebelum lanjut hidup. Kadang cuma lima menit. Tapi lima menit yang nggak dikejar siapa-siapa.
Gimana Caranya Bikin Kunyit Jadi Teman Sehari-hari?
1. Rebus air sambil napas pelan-pelan. Jangan sambil buka Instagram.
2. Tambahin irisan kunyit segar. Kalau nggak ada, pakai bubuk pun boleh. Tapi jangan nyalahin kalau rasanya kayak debu nostalgia.
3. Tambah madu atau jeruk nipis biar nggak terlalu “akar banget”. Biar nggak cuma sehat, tapi juga enak.
4. Duduk. Diam. Minum perlahan. Jangan buru-buru. Anggap aja ini janji temu sama diri sendiri.
5. Kalau sempat, tulis satu kalimat di kertas. Tentang rasa, tentang harimu, tentang apapun. Itu bukan jurnal. Itu kamu.
Akhirnya, Semua Balik ke Kamu
Gue nggak bilang kunyit adalah jawaban buat semua masalah hidup. Tapi dia bisa jadi jeda kecil di tengah ributnya dunia. Kadang, kita cuma butuh sesuatu yang nggak minta performa. Yang nggak minta dilike. Yang cuma... hadir.
Kalau kamu punya ritual absurd versi kamu sendiri, share di komentar, ya. Siapa tahu, dunia ini nggak seberisik yang kita kira—asal kita sempat diem lima menit aja.
Welcome to Hajriah Fajar: Living Smart & Healthy in the Digital Age
Turmeric and Stillness: A Tiny Ritual for a Noisy Mind
Ever feel like your head isn’t just full, but more like an attic in an old house—dusty, cramped, and filled with noises you didn’t invite? Yeah, me too. Especially after juggling 27 browser tabs and hearing a million notifications that basically soundtracked my day. Exhausting, man.
One random morning, I made turmeric tea. Yep, the same turmeric that usually ends up in my mom’s chicken stew. It's bright orange, smells like a committed spice, and tastes... like damp earth telling you a hard truth. But in that odd flavor, there was a moment of silence. A kind of pause that patched my brain, just a little.
No magic. No spiritual awakening. Just... stillness. Blinking slowly. Feeling the warmth of the glass in my hand. That’s it. And weirdly, I came back for more.
What Does Turmeric Have to Do with Our Minds?
Turmeric isn’t just a spice. Some say it's good for your immunity, but let’s be real—it tastes like brewed soil. What’s fascinating is that people are turning to turmeric not for the perfect health transformation, but because they need something slow. Something steady in a world that sprints.
A small study by the National Institutes of Health found that curcumin—the active part of turmeric—might affect mood and the nervous system. But to me, that’s secondary. What matters is: while brewing it, I stopped scrolling. While sipping, I was present.
Turmeric isn’t the “cure” for a noisy brain. It’s a companion. A quiet one. The kind that just sits with you without asking for performance or productivity.
Why Do We Need Small Rituals?
Because the world won’t slow down for us. But we can choose: run endlessly or pause for five minutes and drink (not coffee, this time—turmeric). I once read that humans need transitions. From work to home. From angry to calm. From endless scrolling to just... breathing.
Little rituals like making turmeric tea are like bridges. Not destinations, just pit stops. Like a bus stop before life continues. Sometimes, five minutes is all you need—unrushed, unjudged.
How to Make Turmeric Your Daily Companion?
1. Boil water. Breathe slowly while doing it. Resist opening Instagram.
2. Add fresh turmeric slices. If not available, powdered works too—but don’t blame me if it tastes like dusty childhood memories.
3. Add honey or lemon to balance the earthiness. It’s not just about health; it should taste like something you'd actually enjoy.
4. Sit. Be still. Sip slowly. No rushing. Pretend this is a date with your truest self.
5. If you can, write one sentence. About the taste, your day, your mood. It’s not a journal. It’s you, uncensored.
In the End, It’s Your Call
I’m not saying turmeric solves life. But it could be a tiny pause in a world full of noise. Sometimes, we just need something that doesn’t ask for performance. That doesn’t care about likes. That simply... shows up.
If you’ve got your own weird little ritual, share it in the comments. Who knows—maybe the world’s not that noisy, if we learn to stop for five minutes.
Post a Comment for "Kunyit dan Keheningan: Ritual Kecil untuk Pikiran yang Ramai"
Post a Comment
You are welcome to share your ideas with us in comments!