Jangan Ulangi Ini: 7 Kesalahan Fatal Saat Implementasi SIMRS Berbasis Web

Selamat Datang di Hajriah Fajar: Hidup Sehat & Cerdas di Era Digital

Jangan Ulangi Ini: 7 Kesalahan Fatal Saat Implementasi SIMRS Berbasis Web

Banyak rumah sakit melangkah ke digitalisasi dengan semangat tinggi, berharap SIMRS akan jadi solusi dari semua kekacauan administrasi. Tapi setelah berjalan beberapa bulan, yang terjadi justru sebaliknya: staf frustrasi, antrean makin panjang, data banyak yang salah input, dan sistem lebih sering error daripada jalan. Apa yang salah?

SIMRS berbasis web memang menawarkan efisiensi dan keterhubungan. Tapi jika implementasinya hanya sekadar “asal beli sistem” tanpa kesiapan, maka yang terjadi bukan transformasi, tapi disrupsi. Berikut adalah kesalahan-kesalahan umum yang sering dilakukan rumah sakit saat mengadopsi SIMRS web-based—dan bagaimana menghindarinya.

1. Menganggap SIMRS Itu “Plug and Play”

Banyak manajemen RS berpikir, “Beli SIMRS, tinggal pakai.” Padahal, SIMRS bukan aplikasi kasir. Ini adalah sistem yang memengaruhi seluruh workflow rumah sakit, dari dokter hingga billing. Implementasi perlu waktu, uji coba, pelatihan berulang, dan pengawasan ketat. Tidak ada sistem yang langsung cocok begitu saja.

2. Tidak Audit Infrastruktur Sebelum Pakai

Tanpa cek dulu kondisi internet, komputer, dan jaringan, RS langsung pakai SIMRS berbasis cloud. Akibatnya? Koneksi drop, halaman tidak bisa dibuka, dan user menyalahkan sistem. Padahal sistemnya jalan, hanya jaringannya tak sanggup. Sebelum mulai, lakukan audit: apakah bandwidth cukup? Apakah ada ISP cadangan? Apakah komputer masih sehat?

3. Tidak Melibatkan Pengguna Sejak Awal

Kadang keputusan beli SIMRS hanya ada di level direksi. Dokter, perawat, dan admin baru tahu saat sistem sudah aktif. Mereka tidak dilatih, tidak diberi ruang untuk memberi masukan. Alhasil, resistensi tinggi. SIMRS dianggap beban, bukan alat bantu. Padahal, jika user dilibatkan sejak awal, banyak masalah bisa dicegah.

4. Tidak Ada SOP & Tim Teknis Internal

SIMRS bukan benda mati. Ia butuh SOP: bagaimana login, bagaimana jika internet mati, bagaimana jika sistem error. Juga butuh tim internal, minimal 1–2 orang yang mengerti sistem dan bisa menjembatani dengan vendor. Tanpa SOP dan tim, masalah kecil akan jadi bola salju.

5. Terlalu Bergantung pada Vendor

Memang vendor bertanggung jawab secara teknis. Tapi kalau setiap kali error kecil harus tunggu balasan WhatsApp dari vendor, operasional bisa lumpuh. Rumah sakit harus punya literasi dasar troubleshooting dan akses dashboard admin. Jangan serahkan semua ke luar.

6. Tidak Ada Fallback Saat Sistem Down

Saat SIMRS tidak bisa diakses, pelayanan pun ikut berhenti. Kenapa? Karena tidak ada form kertas cadangan, tidak ada SOP darurat. Padahal seharusnya, form manual selalu disiapkan untuk keadaan darurat. Setelah koneksi kembali, data bisa dimasukkan ulang. Jangan jadikan SIMRS satu-satunya pintu, tanpa jalan keluar.

7. Salah Pilih Vendor: Murah Tapi Minim Dukungan

Harga murah bukan jaminan solusi murah. Banyak RS tergiur paket SIMRS yang harganya ekonomis, tapi ternyata tidak scalable, tidak bisa integrasi BPJS, dan minim support. Vendor yang bagus bukan cuma bisa jualan, tapi juga bantu RS beradaptasi. Pilihlah vendor yang mau turun ke lapangan, bukan hanya kirim link Zoom.

Penutup: Transformasi Butuh Persiapan, Bukan Kecepatan

Implementasi SIMRS bukan sprint, tapi maraton. Ia perlu pemetaan, keterlibatan semua pihak, dan pendekatan yang realistis terhadap kondisi rumah sakit. Alih-alih berharap semua langsung digital, mulailah dari satu layanan dulu, kuasai, lalu kembangkan ke yang lain. Dengan begitu, digitalisasi tak lagi jadi proyek musiman—melainkan proses bertahap yang membawa hasil nyata.

Post a Comment for "Jangan Ulangi Ini: 7 Kesalahan Fatal Saat Implementasi SIMRS Berbasis Web"